Home

Senin, 11 Oktober 2010

KONFLIK

PENYEBAB TERJADINYA LUMPUR LAPINDO

     Ada yang mengatakan bahwa lumpur Lapindo meluap karena kegiatan PT Lapindo di dekat lokasi itu.
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
     Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
     Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki (Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka “belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki).
     Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya. Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi dapat diatasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).

Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)
     Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
     Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu sendiri.
     Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS di Indonesia setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh BP MIGAS.
     Dalam AAPG 2008 International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29 Oktober 2008, merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia mendukung GEMPA YOGYA sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara ahli menyatakan PEMBORAN sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pemboran sebagai penyebab, dan 16 (enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pemboran.

Lumpur Lapindo ke Laut, Potensi Konflik Antar-Warga Meningkat

     Pemerintah harus mewaspadai tingginya potensi konflik horisontal di antara warga yang menjadi korban keputusan membuang luapan lumpur dari proyek PT Lapindo Brantas Inc. ke Kali Porong dan ke laut.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur (Jatim), Ridho Saiful Ashadi, kepada ANTARA News di Surabaya, Jumat, menjelaskan bahwa hingga saat ini banyak warga, terutama yang tinggal di kawasan pesisir pantai dan petambak, yang menolak pembuangan lumpur ke Kali Porong dan ke laut.
“Selama ini berkembang opini bahwa pihak yang menolak membuang lumpur ke Kali Porong dan laut hanya sekedar memikirkan keselamatan ikan-ikan, tanpa memikirkan keselamatan manusia. Opini seperti itu hanya untuk menyempitkan masalah yang jauh lebih besar,” katanya.
Ia menimpali, “Berbicara masalah lingkungan, tidak hanya sekedar menyangkut ikan dan manusia, tapi banyak aspek yang terkait didalamnya.”
Saiful mengemukakan, Kali Porong merupakan sumber pengairan lebih dari 4.000 hektar tambak di Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Apabila lumpur dibuang ke Kali Porong, menurut dia, maka selanjutnya akan masuk dan merusak tambak, serta meracuni udang dan ikan dalam tambak.
“Jika udang dan ikan itu dikonsumsi manusia, maka berpotensi menimbulkan dampak keracunan. Dalam waktu yang lama, racun-racun ini akan terakumulasi dalam tubuh manusia,” jelasnya.
Padahal, ia menilai, perikanan tambak merupakan sektor unggulan di Kabupaten Sidoarjo dan merupakan tambak organik terbesar di Indonesia. Sekira 30 persen ekspor udang Indonesia berasal dari tambak Sidoarjo dengan nilai produksi sekira Rp800 miliar per tahun.
Dampak serupa juga akan dialami ribuan nelayan di pesisir Sidoarjo, Pulau Madura, Surabaya, Pasuruan, dan Probolinggo, yang terancam kehilangan sumber penghidupan, apabila jutaan meter kubik lumpur Lapindo dibuang ke laut, ujarnya.
“Membuang lumpur, baik ke sungai maupun laut akan mengancam kesehatan manusia, mata pencaharian petambak dan nelayan, serta kelangsungan ekosistem sungai dan laut,” katanya.
Ia pun menegaskan, “Karena itu, wajar kalau nelayan dan petambak menolak pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong maupun laut. Mereka termasuk warga yang akan terkena korban lumpur berikutnya dan perlu juga diperhatikan nasibnya.”
Saiful mennilai, sejak terjadinya semburan gas bercampur lumpur panas di pengeboran PT Lapindo Brantas Inc. pada 29 Mei 2006, sering terjadi konflik antar-warga yang menjadi korban.
“Dengan dibuangnya lumpur ke Kali Porong dan laut, potensi munculnya konflik horizontal juga tinggi. Tidak hanya melibatkan korban lumpur, tapi konflik bisa meluas di wilayah pesisir laut Selat Madura,” tambah Saiful.
Oleh karena itu pula, Walhi Jatim meminta, pihak-pihak yang mengeluarkan izin pembuangan lumpur ke Kali Porong dan laut harus bertanggung jawab, baik secara hukum maupun politik, seandainya terjadi konflik horizontal semakin besar dan meluas.






PENANGANAN LUAPAN LUMPUR LAPINDO

      Ada lima alasan bila dikaitkan dengan keamanan insan (human security), mengapa pemerintah harus mengambil alih secara penuh penanganan luapan lumpur di Sidoarjo tersebut, yakni:
Pertama, dalam persfektif ancaman keamanan, problem yang mengancam masyarakat di sekitar meluapnya lumpur di Sidoarjo tersebut telah mengancam keamanan warga. Sebab, negara merupakan bagian ‘aktor politik’ terpenting yang berkewajiban menyediakan keamanan bagi seluruh warga negaranya.
Kedua, perluasan luasan lumpur tersebut, tidak saja telah menutup akses warga untuk dapat menjalankan hak dan kewajibannya, melainkan telah menutup akses ke infra struktur politik yang tenggelam bersama dengan ribuan rumah warga lainnya.
Ketiga, ekses dari luapan lumpur tersebut telah menyemai benih-benih konflik, baik konflik vertikal, antara negara dengan masyarakat, ataupun juga konflik horisontal, antara masyarakat dengan masyarakat lainnya. Benih konflik tersebut secara kasat mata dimana saat ini sebagian masyarakat setuju dengan unjuk rasa korban lumpur ke Jakarta, dan sebagian yang lainnya, beranggapan tetap menanti janji Bupati Sidoarjo, serta TNPL, serta pihak Lapindo untuk merealisasikan janjinya. Hal yang sama akan terlibat dari ratusan spanduk yang di pasang sepanjang Jalan Raya Porong, Sidoarjo, yang berisi kecaman dan desakan warga ke pemerintah.
Keempat, makin meluasnya substansi permasalahan, dengan terlibatnya berbagai aktor politik baik yang dari negara maupun non-negara dalam penanggulangan lumpur tersebut. Aktor politik negara misalnya datang dari partai politik, baik yang pro pemerintah, ataupun yang oposisi yang mendukung berbagai langkah warga untuk mendapatkan hak-haknya. Sementara aktor non negara datang dari LSM, ataupun organisasi masyarakat, yang menggunakan pendekatan lingkungan hingga HAM, dalam melakukan advokasi dan pendampingan warga. Dari perspektif politik, kondisi tersebut makin menggambarkan dinamika politik yang aktif. Namun dari sudut pandang penyelesaian konflik, maka hal tersebut makin membenamkan permasalahan ke dasar lumpur tersebut, karena makin banyaknya aktor yang bermain dalam kasus tersebut.
Dan kelima, daerah sekitar luapan lumpur tersebut telah menjelma menjadi daerah yang relatif rawan keamanan. Bahkan dalam berbagai kasus terjadi konflik di antara warga karena masalah wilayah yang dikavling, karena luapan lumpur tersebut telah menjelma menjadi ‘obyek wisata’. Disamping yang tidak kalah seriusnya adalah munculnya berbagai penyakit masyarakat, seperti perjudian, hingga aksi premanisme. Hal tersebut apabila dibiarkan, maka secara akan mengganggu keamanan secara umum. Terkait dengan belum adanya aturan yang baku tentang tanggung jawab negara dalam menjamin keamanan warganya, selain Kepres tentang TNPL. Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) versi Departemen Pertahanan pada Pasal 11, memang telah ditegaskan tentang kewajiban pemerintah untuk secara penuh mengambil alih keadaan dengan menyatakan keadaan darurat bencana, baik karena alam maupun karena manusia.Hanya saja, RUU Kammas tersebut telah lebih dahulu menjadi polemik, sehingga masalah keamanan insani (human security) belum dapat terbahas dengan baik, dan yang membuat tidak cukup baik adalah menjadi alasan pemerintah untuk melepas tanggung jawab, selain masalah ketiadaan anggaran dari pos APBN maupun APBN-P. Akan tetapi, bila merujuk pada konstitusi, khususnya pada Pembukaan UUD 1945 secara tegas tertera kewajiban dari negara adalah salah satunya menjamin keamanan warganya. Sementara efek keamanan, hanya akan memupuk satu kondisi yang akan menjadi bom waktu bagi kondusifitas keamanan Indonesia secara keseluruhan. Sebab, harus diingat, dalam dimensi keamanan, apa yang terjadi di Indonesia akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keamanan di tingkat regional maupun global. Permasalahannya, memang menjadi sederhana apabila beban kesalahan tersebut dipikul sendiri oleh PT. Lapindo Brantas, dan Holding Company-nya, Bakrie Brothers, akibat kesalahan perhitungan dalam melakukan pengeboran, PERTANYAANNYA sampai kapan masyarakat korban lumpur dapat bertahan ?
Di sinilah yang kemudian membuat situasi penanggulangan lumpur dan efeknya menjadi problems yang sampai dengan saat ini menimbulkan situasi yang sangat sulit , karena efek politik dan keamanan yang terbangun hanya akan membangun satu ketidakpuasan masyarakat selama tuntutan penyelesaian belum sesuai dengan apa yang menjadi harapan dan yang tidak kala pentingnya dari permasalahan-permasalahan yang ada saat ini adalah ; Antisipasi terburuk akibat dampak permasalahan-permasalahan yang berkembang ini akan mengakibatkan persoalan-persoalan baru terkait dengan sosial dan perekonomian yang sebagaimana telah menjadi strategic dan acuan bersama dalam membangun pemerintahan Kabupaten Sidoarjo secara utuh .
Untuk itu tidaklah berlebihan dengan fakta-fakta yang ada saat ini dan mengantisipasi kedepan akibat lumpur dengan mengedepankan kepentingan masyarakat perlu sekirannya diambil sikap bersama dalam merumuskan penyelesaiaan dengan mempertimbangkan keputusan dan sikap pernerintah serta kondisi , kemampuan dan peran – peran lembaga yang ada, perlu sekiranya diambil langka-langka oleh DPRD Kabupaten Sidoarjo untuk ditetapkan bersama oleh BUPATI berkaitan dengan ;
Pertama: PENDAMPINGAN Kepada Masyarakat terkait dengan Legal ?
Kedua : Merumuskan kebijakan dalam rangka memperingan hutang-hutang korban Lumpur dengan pihak bank
Nilai PLUS adanya kemungkinan kemudahan pinjaman untuk usaha ??
Ketiga : Menyusun dan mempersiapkan RT / RW

Tidak ada komentar:

Posting Komentar